Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Liza Arjanto

Kerlip Lampu di Pulau Seberang

Sastra | Thursday, 03 Mar 2022, 16:25 WIB
Kerlip lampu by Liza P Arjanto (Foto : Pixabay)

Subuh baru saja lepas, gadis kecil itu duduk di atas serubung becak yang sudah dilipat, sambil memeluk lutut menahan dingin.

Badan becak dipenuhi balok-balok es batu yang akan diantarkan ke kedai kopi langganan di tengah pasar.

Itu tugas pertamanya di pagi setiap hari.

Setelah sampai ke kedai kopi, ia menyerahkan buku catatan, menunggu hingga es batu itu selesai dihitung lalu dicatat dan diparaf.

Jika musim ujian sekolah usai, pemilik kedai kopi yang baik hati itu akan bertanya, berapa nilai raportnya di sekolah.

Sering ia mendapat hadiah karena nilainya yang dianggap bagus.

Entah berupa bingkisan buku, atau uang untuk membeli buku.

Ia memanggilnya Om Ahim, sahabat terbaik Abah, yang sering memberikan hadiah buku tulis yang dibungkus sampul cokelat.

Hadiah sederhana yang ketika itu terasa sangat berarti baginya.

Usai mengantar es batu, ia bergegas pulang.

Tugas berikutnya sudah menanti.

Mengantar kue ke kedai kopi di pinggir laut.

Kedai kopi itu berderet di sepanjang dermaga.

Beratap seng, berdinding kain terpal yang dipadukan dengan papan triplek bekas. Di sana-sini ditempeli foto-foto artis ibukota yang berebut tempat dengan poster-poster iklan produk.

Lantainya dari papan-papan kayu yang berderit setiap kali diinjak.

Kadang ia berangkat sendiri, kadang ia diantar om kecilnya.

Adik ibunya yang menjadi sahabatnya sejak kecil.

Suatu kali, keranjang itu terlepas, kue-kue itu berhamburan di jalan.

Dengan gugup dan takut ia memunguti satu per satu kue itu, memasukkan ke keranjang kue. Lalu mengantarkan ke kedai kopi seperti biasa. Seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Itu menjadi rahasia kecilnya, yang tak pernah ia ceritakan kepada siapapun.

Termasuk ibunya.

Beberapa hari setelah peristiwa itu, ibunya mengatakan bahwa ia tak perlu lagi mengantar kue ke kedai kopi di pinggir laut.

Ibunya tak mengatakan apa-apa, hanya wajahnya tampak sedikit muram.

Perlu bertahun-tahun bagi gadis kecil itu untuk memahami hubungan antara rahasia kecilnya dengan berhentinya kegiatan mengantar kue.

Sesungguhnya ia sedikit menyukai kegiatan mengantar kue ke pinggir laut itu.

Karena selepas mengantar kue, ia akan berjalan pelahan menyusuri jalanan di tepi laut.

Ah, sebetulnya tepi sungai. Sungai yang sangat lebar dengan air yang sewarna kopi susu.

Udara masih terasa sejuk, angin sungai Indragiri yang berhembus terasa dingin menyentuh wajahnya.

Di kejauhan, di seberang pulau, kerlip lampu terlihat begitu indah.

Ia berjanji, suatu hari nanti, ia akan pergi jauh.

Meninggalkan tanah kelahirannya, melintasi sungai, mencari cahayanya sendiri.

Ia sungguh tak menduga, hanya beberapa bulan berselang, ia betul-betul pergi.

Meninggalkan jejak kecil pada lorong-lorong masa lalu.

Pada jembatan-jembatan kayu, pohon-pohon nyiur, batang-batang tebu yang dijual di pinggir jalan.

Halaman-halaman luas berpasir.

Kepiting-kepiting kecil yang bersembunyi pada lubang-lubang di tanah rawa.

Serta kerlip lampu di pulau seberang.

#JejakMasaKecil

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image